Suara
ketikan keyboard memecah suasana
kantor yang hening dan sudah larut malam. Salah satu pegawai yang masih sibuk
mengerjakan pekerjaannya yang masih belum selesai, Andri. Ia merupakan salah
satu staff yang berpotensi untuk naik
jabatan menjadi manager ditahun ini.
Andri
berpenampilan dewasa di usianya yang masih seperempat abad. Mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, menjadikannya salah satu cowok yang membuat staff wanita yang lain betah untuk bekerja di kantor itu. Dan juga ia tipe orang yang
tidak ingin bertele-tele yang ingin menyelesaikan apapun yang dilakukannya
secara cepat dan sempurna tanpa cacat.
Berbeda
dengan Andien, asisten Andri yang selalu membuatnya pusing dan juga merupakan
sahabat baiknya sejak SMA sehingga Andien tidak merasa menjadi asisten seorang
pria yang memiliki jabatan tinggi melainkan hanya menjadi pendamping sahabatnya
itu.
Seperti
malam ini, Andien terus menemani Andri yang masih sibuk mengejar selesainya
proposal yang harus diselesaikan dalam dua hari. Dan ia tahu, bahwa pada siang
hari, Andri terlalu sibuk mengerjakan hal lain.
“Belum
mau pulang?” tanya Andien sembari meletakkan secangkir kopi hitam saring yang
sudah menjadi permintaan Andri diatas meja.
“Dua
hari, Din. Dua hari.” Ia memberi penekanan pada jumlah hari yang tersisa
sebelum deadlinenya.
Andien
mengerling, ia melihat di setiap sisi kantor sudah gelap. Tidak ada lagi staff lain yang tersisa selain mereka
berdua.
“Okeii,”
jawab Andien dengan nada yang datar sambil menatap ke dalam cangkir teh yang
digenggamnya.
Keheningan
menyerang mereka berdua. Disaat Andri sedang berpikir keras, dan Andien hanya
duduk disebelahnya, menatap wajahnya dengan seksama.
“Lo
ganteng juga ya kalau dilihat lama-lama, Dri.” Ucap Andien disela keheningan
kantor.
Andri
hanya diam, tatapannya tajam, fokus pada layar komputer dan data yang berada
diatas mejanya.
“Fokus
banget,” pikir Andien kecewa.
Andri
yang tersadar bahwa Andien sedang mengajaknya bicara, kemudian sontak kaget
sendiri karena ia lupa memberi balasan atas pernyataan Andien, langsung
memalingkan wajah menghadap Andien.
“Oh,
iya!” serunya. “Gue memang ganteng,” jawabnya.
“Sorry,
tadi lagi fokus, lupa gue balas omongan lo tadi.” Dia terdiam sejenak kemudian
kembali memandang ke arah Andien dengan ekspresi tengilnya. “Itu kayak chat
terus di read tapi gak dibales yak?” tanyanya cekikikan.
“Ah,
elu. Bawaannya baper aja.” Sahut Andien.
Dan
kemudian mereka tertawa bersama.
“Gimana
hubungan lo dengan cowok brengsek itu?” tanya Andri dengan jari-jari tangan
yang masih sibuk menari diatas keyboard.
“Ya,
begitulah.” Jawab Andien singkat. “Lo tau lah, gimana kondisinya.” Ia meletakkan
cangkir tehnya keatas meja.
Andri
berhenti sejenak, memandang Andien dengan dalam. “Gue yakin lo bisa lewatin ini
semua.” Ujar Andri sambil menepuk pelan pundaknya.
“Gue
tau kok, Dri.” Jawabnya. “Cuman lo cowok yang bisa gue percayai. Bahkan kalau
sampai lu nyakitin gue, itu tandanya, beneran semua cowok sama aja.”
“Wah,
nadanya ngancem ih,” Andri mencubit pelan pipinya Andien. “Gak kok, kita uda kenal
dari masih labil sampai sekarang. Lo tau gue gimana, gue juga tau lo gimana.”
“Fair,”
jawab Andien tak acuh. “Belum mau pulang?” lanjutnya.
Andri
kembali menatap ke layar komputer, sejenak ia berpikir. “Kayaknya sampai disini
dulu deh, besok baru dilanjutin lagi.”
“Okei,
sebagai asisten yang baik, gue akan bantu beresin meja.”
“Baik,
asistenku.” Kata Andri dengan nada rendah. “Sebaiknya kamu bekerja dengan lebih
giat mulai dari sekarang dan kedepannya. Ha-ha-ha.”
“Yeee,
emang gue gak giat selama ini?” cibir Andien.
“Yaelah,
bercanda doang ngapa?” balas Andri. “Yauda, gue ke toilet bentar, bantu pesenin
taksi juga ya. Mobilku mogok tadi pagi.”
Andien
memalingkan mukanya dari meja, menatap ekspresi Andri dengan serius. “Beneran
mogok?”
“Iya,
emang ngapa?”
“Dah
ikut gue aja, gue anterin balik.”
“Stop!”
seru Andri. “Gue bukan putri kerajaan yang minta dianter balik kok.”
“Gak
ada yang lihat juga,” balas Andien.
“Lagipula,
arah gue dan arah lo beda. Gue pakai taksi aja, uda biasa kok pas kuliah dulu.”
“Ah,
yasudahlah, gue pesenin sekarang ya kalau gitu.”
“Iya,”
jawabnya dari balik dinding sebelum dirinya berjalan menjauh menuju toilet.
Andien
sudah selesai membereskan meja dan mematikan semua yang berhubungan dengan arus
listrik. “Oke, sudah beres.”
Andri
kembali masuk ke dalam ruangan. “Uda dipesen belum taksi gue, cantik?”
“Udahh,”
jawabnya. “bentar lagi juga sampai. Yuk turun.” Ajaknya.
“Oke,
yuk.” Andri mengambil tas dari atas kursi dan berjalan menyusul Andien menuju
ke arah lift.
Ketika
sedang berada di dalam lift, waktu terasa berjalan begitu lambat dari biasanya.
Mereka berada di lantai 18, biasanya hanya dalam hitungan detik sudah sampai di
lantai basement.
“Din,”
sahut Andri ditengah keheningan mereka.
“Ada
apa?”
“Gue
mau tan-.”
“Tanya
aja,” potong Andien. Andri terdiam, dan kembali melempar pertanyaan.
“Pernah
gak-“
“Belum
pernah.”
“Lah,
gue belum selesai tanya,” seru Andri.
“Ini
kayak gue bentar lagi bakal ditembak, rasanya kayak dejavu. Kembali ke masa
SMA, pas gue masih populer dikalangan pria jomblo.” Papar Andien.
“Yaelah,
ke GR-an lu mah.” Andri berhenti bertanya.
“Yauda
lanjutin kalau belum selesai,”
“Ah,
males,” Andri membuang muka ke arah berlawanan.
“Ngambek,
ih?” Andien menusuk-nusuk pipi Andri bertubi-tubi. “Gak ganteng lagi deh jadinya.”
“Ah,
gue mah ganteng dari sononya.”
“Yauda,
lanjut.”
Andri
mengambil posisi memandang ke arah pintu lift dan kembali melanjutkan yang
terpotong tadi.
“Pernah
gak, lu dengar cerita, dua individu yang sebelumnya sahabatan, malah pacaran
ujung-ujungnya?” tanya Andri.
“Lah,
kan,” Andien menatap Andri. “Bener feeling
gue, lu mau nembak gue yak?” tanya Andien memastikan.
TING.
Lift
sudah sampai di basement.
“Wah,
sudah sampai.” Andri melihat sekeliling. “Beneran uda sepi ya kantor, dah pada
gak ada orang,”
“Oh,
tuh taksi gue uda nyampe. Gue duluan ya, sampai jumpa besok cantik.” Andri
meninggalkan Andien dalam posisi yang masih bertanya-tanya.
“Dia
suka gue ya?” Pikir Andien. Andien menggeleng-gelengkan kepala dan menampar
pelan dua sisi pipinya untuk menyadarkannya. “Ini uda malam, mungkin lagi mabuk
kena proposal kali dia ya.” Andien pergi berjalan meninggalkan kantor, menuju tempat
parkir.
Andri
berjalan mendekati taksi yang sudah nimbrung di depan kantor. “Pak Andri, ya?”
Tanya supir dari dalam mobil, memastikan pelanggannya.
“Iya,
benar.” Andri membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Ke
arah mana pak?” tanya si supir.
“Ke
arah pusat kota dulu pak, saya mau cari makan sebentar.” Jawab Andri, sambil
meregangkan dasinya dan membuka satu kancing kemeja bagian atas.
“Sampai
malam masih jalan aja pak?” tanya Andri memulai pembicaraan.
“Iya
nih,” jawab supir singkat.
“Biasa
sampai jam berapa pak?”
“Biasa
sih sampai jam 10 aja.” Jawabnya.
Andri
melihat jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam. “Wah, lebih malem dong ya
pak malam ini?” tanyanya.
“Iya
pak, mungkin ini juga uda Last Order.”
“Oh,”
respon Andri singkat. Ia mengeluarkan handphone
dari saku celananya, mencari nama Andien di kontak telepon dan ia berencana
menghubunginya.
“Uda
nikah, pak?” tanya supir.
“Belum
nih pak. Rencana ada calon sih, tapi kayaknya saya tak diacuhkan sama dia.”
“Wah,
uda mapan tapi belum nikah ya,” ujar si supir. “Tapi syukurlah.”
“Syukur?”
tanyanya.
Si
supir tidak memberi keterangan lebih lanjut dengan makna dari pernyataan ‘syukur’nya
itu. Ia kemudian menelpon Andien, bermaksud melanjutkan pembicaraan yang
terpotong tadi.
TUUT-TUUT-TUUT
“Halo,”
suara Andien dari seberang telpon.
“Halo,”
sapa Andri. “Uda sampai mana, Din?”
“Gue,
uda sampai di....” Andien terdengar sedang melihat lokasi sekitar. “Baru aja
lewat SPBU.”
“Oh,
cepet juga, ngebut ya?”
“Engga
kok,” jawab Andien,
“Ada
apa nelpon? Baru aja tinggal bentar, uda kangen?” tanya Andien dengan nada
bercanda namun tidak terdengar bercanda oleh telinga Andri.
“Iya
nih, gue uda kangen sama lo.” Jawab Andri dengan nada yang tegas.
Tidak
ada respon dari Andien.
“Kayaknya,
gue suka sama lo, Din,” Andri menyatakan perasaannya kepadanya secara jujur.
“Kayaknya
lo sakit ya?” tanya Andien memastikan. “Deadline sisa satu hari besok, terus lo
demam?”
“Engga
kok, gue serius.” Ujar Andri.
Hening.
“Kalau
proyek ini kelar, gue mau lamar lo.”
Andien
tidak bersuara.
“Syukur
ya. taksinya masih ada jam segini?” Andien mengalihkan pembicaraan, pengalihan
yang sangat sangat sangat jauh dari topik yang sedang dibahas.
Andri
mengerti bahwa Andien tidak akan memberikan balasan secara langsung pada saat
itu juga.
“Ehm,
iya nih,” jawab Andri. “Katanya juga biasa sampai jam 10, tapi malem ini lebih
malam. Last Order sih kata supirnya.”
“Syukurlah
ya, jadi gue juga bisa langsung pulang dengan tenang dan cepat pula.”
“Iya,
gak ngerepotin cewek cantik, kasian malam-malam masa anterin gue pulang, hehe.”
Andri berusaha mencairkan suasana yang sedikit awkward ini.
“Yauda,
gue matiin dulu ya, kalau uda sampai rumah, telepon bal-“
Brak!
Tiba-tiba
terdengar suara benturan yang sangat kuat dari saluran Andri.
“Dri?!”
seru Andien.
“DRIII!!!”
Andien segera menepikan mobilnya dan berusaha untuk memanggil-manggil Andri. “ANDRIII!!”
Tidak
ada balasan dari Andri. Terdengar suara ledakan-ledakan kecil dari seberang
saluran telpon.
‘Last Order’
Tiba-tiba
Andien terngiang kata itu. “ANDRI PUTRA KURNIAWAN!!!!”
Tetap
tidak ada jawaban dari Andri.
Andien
langsung memutar kemudi, melaju melewati jalan yang mungkin di lewati oleh
taksi yang ditumpangi Andri.
Andien
melaju dalam kecemasan. Di dalam hati, ia ingin segera memberikan jawaban,
bahwa Andien sangat menyayangi Andri. Ia sangat bahagia ketika Andri mengatakan
bahwa ia akan melamar Andien segera setelah proyek yang sedang dikerjakan oleh
Andri telah sukses.
Andien
terus melaju, air mata tidak dapat ditampung lagi. Andien menangis keras,
beberapa kali ia mengusap mata agar dapat melihat lajur jalan dengan jelas.
Andien
melihat bahwa ada penutupan jalan oleh polisi, dan terlihat juga banyak sekali
orang yang sedang berkumpul diarea itu. Andien segera keluar dari mobil dan
berlari ke kumpulan orang-orang itu.
Ia
melihat beberapa orang sedang berusaha untuk mengeluarkan seseorang dari bagian
pintu penumpang belakang taksi yang menabrak tiang jembatan. Ia melihat Andri
yang sudah terbujur kaku, sedang dikeluarkan dari mobil yang sudah tidak layak
lagi kondisinya.
“Andri!”
seru Andien mendekat ke arah jasad Andri yang sudah terbujur kaku. Andien menangis
dengan kencang. “Semua salah si supir! Supir itu dengan sengaja menabrakan
mobil!”
Andien
berteriak histeris dengan menangis kencang. Ia memukul-mukul dada dari badan
yang sudah kehilangan jiwa itu. “Mana?! Mana Andri?! Gue disini, gue disamping lo!
Mana kalimat ‘will you marry me’ dari mulut lo itu?!”
“Gue sayang sama lo Dri. Maafin gue.” Andien tidak berhenti menangis ditengah kerumunan
orang yang hadir setelah kecelakaan terjadi. Semuanya sudah terlambat. Penyesalan
pun datang bersamaan dengan itu. Diketahui bahwa anak dari supir taksi itu meninggal pada malam itu juga, sehingga motif sang supir adalah untuk membawa seseorang yang dapat menemaninya mencari keberadaan anaknya di alam sana.