Powered By Blogger

Selasa, 21 Februari 2017

Last Order

Suara ketikan keyboard memecah suasana kantor yang hening dan sudah larut malam. Salah satu pegawai yang masih sibuk mengerjakan pekerjaannya yang masih belum selesai, Andri. Ia merupakan salah satu staff yang berpotensi untuk naik jabatan menjadi manager ditahun ini.
Andri berpenampilan dewasa di usianya yang masih seperempat abad. Mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, menjadikannya salah satu cowok yang membuat staff wanita yang lain betah untuk bekerja di kantor itu. Dan juga ia tipe orang yang tidak ingin bertele-tele yang ingin menyelesaikan apapun yang dilakukannya secara cepat dan sempurna tanpa cacat.
Berbeda dengan Andien, asisten Andri yang selalu membuatnya pusing dan juga merupakan sahabat baiknya sejak SMA sehingga Andien tidak merasa menjadi asisten seorang pria yang memiliki jabatan tinggi melainkan hanya menjadi pendamping sahabatnya itu.
Seperti malam ini, Andien terus menemani Andri yang masih sibuk mengejar selesainya proposal yang harus diselesaikan dalam dua hari. Dan ia tahu, bahwa pada siang hari, Andri terlalu sibuk mengerjakan hal lain.
“Belum mau pulang?” tanya Andien sembari meletakkan secangkir kopi hitam saring yang sudah menjadi permintaan Andri diatas meja.
“Dua hari, Din. Dua hari.” Ia memberi penekanan pada jumlah hari yang tersisa sebelum deadlinenya.
Andien mengerling, ia melihat di setiap sisi kantor sudah gelap. Tidak ada lagi staff lain yang tersisa selain mereka berdua.
“Okeii,” jawab Andien dengan nada yang datar sambil menatap ke dalam cangkir teh yang digenggamnya.
Keheningan menyerang mereka berdua. Disaat Andri sedang berpikir keras, dan Andien hanya duduk disebelahnya, menatap wajahnya dengan seksama.
“Lo ganteng juga ya kalau dilihat lama-lama, Dri.” Ucap Andien disela keheningan kantor.
Andri hanya diam, tatapannya tajam, fokus pada layar komputer dan data yang berada diatas mejanya.
“Fokus banget,” pikir Andien kecewa.
Andri yang tersadar bahwa Andien sedang mengajaknya bicara, kemudian sontak kaget sendiri karena ia lupa memberi balasan atas pernyataan Andien, langsung memalingkan wajah menghadap Andien.
“Oh, iya!” serunya. “Gue memang ganteng,” jawabnya.
“Sorry, tadi lagi fokus, lupa gue balas omongan lo tadi.” Dia terdiam sejenak kemudian kembali memandang ke arah Andien dengan ekspresi tengilnya. “Itu kayak chat terus di read tapi gak dibales yak?” tanyanya cekikikan.
“Ah, elu. Bawaannya baper aja.” Sahut Andien.
Dan kemudian mereka tertawa bersama.
“Gimana hubungan lo dengan cowok brengsek itu?” tanya Andri dengan jari-jari tangan yang masih sibuk menari diatas keyboard.
“Ya, begitulah.” Jawab Andien singkat. “Lo tau lah, gimana kondisinya.” Ia meletakkan cangkir tehnya keatas meja.
Andri berhenti sejenak, memandang Andien dengan dalam. “Gue yakin lo bisa lewatin ini semua.” Ujar Andri sambil menepuk pelan pundaknya.
“Gue tau kok, Dri.” Jawabnya. “Cuman lo cowok yang bisa gue percayai. Bahkan kalau sampai lu nyakitin gue, itu tandanya, beneran semua cowok sama aja.”
“Wah, nadanya ngancem ih,” Andri mencubit pelan pipinya Andien. “Gak kok, kita uda kenal dari masih labil sampai sekarang. Lo tau gue gimana, gue juga tau lo gimana.”
“Fair,” jawab Andien tak acuh. “Belum mau pulang?” lanjutnya.
Andri kembali menatap ke layar komputer, sejenak ia berpikir. “Kayaknya sampai disini dulu deh, besok baru dilanjutin lagi.”
“Okei, sebagai asisten yang baik, gue akan bantu beresin meja.”
“Baik, asistenku.” Kata Andri dengan nada rendah. “Sebaiknya kamu bekerja dengan lebih giat mulai dari sekarang dan kedepannya. Ha-ha-ha.”
“Yeee, emang gue gak giat selama ini?” cibir Andien.
“Yaelah, bercanda doang ngapa?” balas Andri. “Yauda, gue ke toilet bentar, bantu pesenin taksi juga ya. Mobilku mogok tadi pagi.”
Andien memalingkan mukanya dari meja, menatap ekspresi Andri dengan serius. “Beneran mogok?”
“Iya, emang ngapa?”
“Dah ikut gue aja, gue anterin balik.”
“Stop!” seru Andri. “Gue bukan putri kerajaan yang minta dianter balik kok.”
“Gak ada yang lihat juga,” balas Andien.
“Lagipula, arah gue dan arah lo beda. Gue pakai taksi aja, uda biasa kok pas kuliah dulu.”
“Ah, yasudahlah, gue pesenin sekarang ya kalau gitu.”
“Iya,” jawabnya dari balik dinding sebelum dirinya berjalan menjauh menuju toilet.
Andien sudah selesai membereskan meja dan mematikan semua yang berhubungan dengan arus listrik. “Oke, sudah beres.”
Andri kembali masuk ke dalam ruangan. “Uda dipesen belum taksi gue, cantik?”
“Udahh,” jawabnya. “bentar lagi juga sampai. Yuk turun.” Ajaknya.
“Oke, yuk.” Andri mengambil tas dari atas kursi dan berjalan menyusul Andien menuju ke arah lift.
Ketika sedang berada di dalam lift, waktu terasa berjalan begitu lambat dari biasanya. Mereka berada di lantai 18, biasanya hanya dalam hitungan detik sudah sampai di lantai basement.
“Din,” sahut Andri ditengah keheningan mereka.
“Ada apa?”
“Gue mau tan-.”
“Tanya aja,” potong Andien. Andri terdiam, dan kembali melempar pertanyaan.
“Pernah gak-“
“Belum pernah.”
“Lah, gue belum selesai tanya,” seru Andri.
“Ini kayak gue bentar lagi bakal ditembak, rasanya kayak dejavu. Kembali ke masa SMA, pas gue masih populer dikalangan pria jomblo.” Papar Andien.
“Yaelah, ke GR-an lu mah.” Andri berhenti bertanya.
“Yauda lanjutin kalau belum selesai,”
“Ah, males,” Andri membuang muka ke arah berlawanan.
“Ngambek, ih?” Andien menusuk-nusuk pipi Andri bertubi-tubi. “Gak ganteng lagi deh jadinya.”
“Ah, gue mah ganteng dari sononya.”
“Yauda, lanjut.”
Andri mengambil posisi memandang ke arah pintu lift dan kembali melanjutkan yang terpotong tadi.
“Pernah gak, lu dengar cerita, dua individu yang sebelumnya sahabatan, malah pacaran ujung-ujungnya?” tanya Andri.
“Lah, kan,” Andien menatap Andri. “Bener feeling gue, lu mau nembak gue yak?” tanya Andien memastikan.
TING.
Lift sudah sampai di basement.
“Wah, sudah sampai.” Andri melihat sekeliling. “Beneran uda sepi ya kantor, dah pada gak ada orang,”
“Oh, tuh taksi gue uda nyampe. Gue duluan ya, sampai jumpa besok cantik.” Andri meninggalkan Andien dalam posisi yang masih bertanya-tanya.
“Dia suka gue ya?” Pikir Andien. Andien menggeleng-gelengkan kepala dan menampar pelan dua sisi pipinya untuk menyadarkannya. “Ini uda malam, mungkin lagi mabuk kena proposal kali dia ya.” Andien pergi berjalan meninggalkan kantor, menuju tempat parkir.
Andri berjalan mendekati taksi yang sudah nimbrung di depan kantor. “Pak Andri, ya?” Tanya supir dari dalam mobil, memastikan pelanggannya.
“Iya, benar.” Andri membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Ke arah mana pak?” tanya si supir.
“Ke arah pusat kota dulu pak, saya mau cari makan sebentar.” Jawab Andri, sambil meregangkan dasinya dan membuka satu kancing kemeja bagian atas.
“Sampai malam masih jalan aja pak?” tanya Andri memulai pembicaraan.
“Iya nih,” jawab supir singkat.
“Biasa sampai jam berapa pak?”
“Biasa sih sampai jam 10 aja.” Jawabnya.
Andri melihat jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam. “Wah, lebih malem dong ya pak malam ini?” tanyanya.
“Iya pak, mungkin ini juga uda Last Order.”
“Oh,” respon Andri singkat. Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya, mencari nama Andien di kontak telepon dan ia berencana menghubunginya.
“Uda nikah, pak?” tanya supir.
“Belum nih pak. Rencana ada calon sih, tapi kayaknya saya tak diacuhkan sama dia.”
“Wah, uda mapan tapi belum nikah ya,” ujar si supir. “Tapi syukurlah.”
“Syukur?” tanyanya.
Si supir tidak memberi keterangan lebih lanjut dengan makna dari pernyataan ‘syukur’nya itu. Ia kemudian menelpon Andien, bermaksud melanjutkan pembicaraan yang terpotong tadi.
TUUT-TUUT-TUUT
“Halo,” suara Andien dari seberang telpon.
“Halo,” sapa Andri. “Uda sampai mana, Din?”
“Gue, uda sampai di....” Andien terdengar sedang melihat lokasi sekitar. “Baru aja lewat SPBU.”
“Oh, cepet juga, ngebut ya?”
“Engga kok,” jawab Andien,
“Ada apa nelpon? Baru aja tinggal bentar, uda kangen?” tanya Andien dengan nada bercanda namun tidak terdengar bercanda oleh telinga Andri.
“Iya nih, gue uda kangen sama lo.” Jawab Andri dengan nada yang tegas.
Tidak ada respon dari Andien.
“Kayaknya, gue suka sama lo, Din,” Andri menyatakan perasaannya kepadanya secara jujur.
“Kayaknya lo sakit ya?” tanya Andien memastikan. “Deadline sisa satu hari besok, terus lo demam?”
“Engga kok, gue serius.” Ujar Andri.
Hening.
“Kalau proyek ini kelar, gue mau lamar lo.”
Andien tidak bersuara.
“Syukur ya. taksinya masih ada jam segini?” Andien mengalihkan pembicaraan, pengalihan yang sangat sangat sangat jauh dari topik yang sedang dibahas.
Andri mengerti bahwa Andien tidak akan memberikan balasan secara langsung pada saat itu juga.
“Ehm, iya nih,” jawab Andri. “Katanya juga biasa sampai jam 10, tapi malem ini lebih malam. Last Order sih kata supirnya.”
“Syukurlah ya, jadi gue juga bisa langsung pulang dengan tenang dan cepat pula.”
“Iya, gak ngerepotin cewek cantik, kasian malam-malam masa anterin gue pulang, hehe.” Andri berusaha mencairkan suasana yang sedikit awkward ini.
“Yauda, gue matiin dulu ya, kalau uda sampai rumah, telepon bal-“
Brak!
Tiba-tiba terdengar suara benturan yang sangat kuat dari saluran Andri.
“Dri?!” seru Andien.
“DRIII!!!” Andien segera menepikan mobilnya dan berusaha untuk memanggil-manggil Andri. “ANDRIII!!”
Tidak ada balasan dari Andri. Terdengar suara ledakan-ledakan kecil dari seberang saluran telpon.
Last Order’
Tiba-tiba Andien terngiang kata itu. “ANDRI PUTRA KURNIAWAN!!!!”
Tetap tidak ada jawaban dari Andri.
Andien langsung memutar kemudi, melaju melewati jalan yang mungkin di lewati oleh taksi yang ditumpangi Andri.
Andien melaju dalam kecemasan. Di dalam hati, ia ingin segera memberikan jawaban, bahwa Andien sangat menyayangi Andri. Ia sangat bahagia ketika Andri mengatakan bahwa ia akan melamar Andien segera setelah proyek yang sedang dikerjakan oleh Andri telah sukses.
Andien terus melaju, air mata tidak dapat ditampung lagi. Andien menangis keras, beberapa kali ia mengusap mata agar dapat melihat lajur jalan dengan jelas.
Andien melihat bahwa ada penutupan jalan oleh polisi, dan terlihat juga banyak sekali orang yang sedang berkumpul diarea itu. Andien segera keluar dari mobil dan berlari ke kumpulan orang-orang itu.
Ia melihat beberapa orang sedang berusaha untuk mengeluarkan seseorang dari bagian pintu penumpang belakang taksi yang menabrak tiang jembatan. Ia melihat Andri yang sudah terbujur kaku, sedang dikeluarkan dari mobil yang sudah tidak layak lagi kondisinya.
“Andri!” seru Andien mendekat ke arah jasad Andri yang sudah terbujur kaku. Andien menangis dengan kencang. “Semua salah si supir! Supir itu dengan sengaja menabrakan mobil!”
Andien berteriak histeris dengan menangis kencang. Ia memukul-mukul dada dari badan yang sudah kehilangan jiwa itu. “Mana?! Mana Andri?! Gue disini, gue disamping lo! Mana kalimat ‘will you marry me’ dari mulut lo itu?!”
“Gue sayang sama lo Dri. Maafin gue.” Andien tidak berhenti menangis ditengah kerumunan orang yang hadir setelah kecelakaan terjadi. Semuanya sudah terlambat. Penyesalan pun datang bersamaan dengan itu. Diketahui bahwa anak dari supir taksi itu meninggal pada malam itu juga, sehingga motif sang supir adalah untuk membawa seseorang yang dapat menemaninya mencari keberadaan anaknya di alam sana.

Jumat, 12 Agustus 2016

Kamera

Aku baru saja membeli sebuah kamera SLR dengan seluruh uang tabunganku yang kusimpan selama ini. Paket itu sampai pagi tadi dan adikku memberikan pesan singkat ke nomorku barusan untuk memberitahukan hal itu. Aku sudah tidak sabar untuk cepat-cepat pulang dari kantor dan memotret banyak hal.
Malam itu, aku habiskan waktu di rumah dengan membaca buku manual kamera. Sambil mengotak-atik kameraku, aku memotret seluruh isi kamarku dari berbagai sudut. Aku tersenyum bahagia ketika melihat foto yang kudapat memiliki kualitas gambar yang bagus.
“Ya, sesuai dengan harga.” Aku menggumam sambil tersenyum geli. “kamera mahal yang kudapat dengan harga murah dari temanku karena second dan jarang dipakai.”
Aku terus melihat setiap foto yang telah kuabadikan, melihat dari yang terbaru sampai pada foto yang paling awal aku dapat.
Namun, ada sedikit keanehan yang kudapat disini.
Ada beberapa foto lagi setelah foto yang paling pertama aku ambil. Terlihat bahwa ada tiga foto yang tersimpan sebelum aku membelinya.
Foto yang pertamaku lihat setelah foto hasil jepretanku, aku melihat seseorang berdiri dengan memakai topeng kelinci dan mengenakan setelan kerja tukang pos lengkap diluar jendela. “Mungkin pesta topeng,” pikirku.
Foto yang kedua, hanya foto kamar biasa dengan lampu yang menyala dan TV disudut ruangan yang sedang menyiarkan berita pembunuhan.
Foto yang ketiga, dan terakhir, aku melihat seseorang tergeletak dikasur dengan pisau yang menancap di dadanya. “Itu temanku!” aku terkejut dan refleks memalingkan muka dari kamera dan mematikannya.
Tiba-tiba ada seseorang yang membunyikan bel rumah.
Adikku yang masih sedang asik menonton TV diruang tengah, segera berjalan menuju pintu masuk dan membukakan pintu.
Aku yang masih ketakutan atas foto itu, berusaha bangkit berdiri dari tempat dudukku untuk mengambil tongkat besi.
“Kak!” seru adikku dari depan pintu. “Ada pesan barang lagi? Ini ada tukang pos bawain paket!”
Sekujur tubuhku merinding. “Tutup pintu sekarang!”
“Aku tidak pesan apapun lagi! Dan tidak mungkin ada tukang pos yang mengirimkan paket tengah malam begini!”

Dan aku tidak mendapat respon apa-apa setelah itu.

Jumat, 05 Agustus 2016

(Not)Romantic Guy

“Pesan kopi susunya satu ya, mbak.” Aku berseru dari arah mejaku sambil melambaikan tangan ke arah perempuan yang sedang terlihat asik meracik minuman pesanan pengunjung warung kopi.
Ia mengangguk.
“Dan bagaimana kisahmu?” aku membuka pembicaraan.
Gogi berdesah, lemas. Ia terus mengaduk pelan minumannya.
“Apa aku sudah berubah?” tanyanya. Tatapan matanya menunjukkan ia sedang melontarkan pertanyaan yang serius.
“Berubah dalam arti kata?” tanyaku memperjelas.
“Ya,” ia mengedikkan bahu. “berubah dalam segala aspek. Sifatku misalnya?”
Aku menatapnya cukup lama. Sampai pada akhirnya aku mendapatkan kesimpulan bahwa-
“Nih, mas. Kopi susunya.” Kesimpulan bahwa kopi susuku sudah datang sebelum aku memberikan komentar tentang perubahan sifatnya Gogi.
“Terima kasih, mbak.” Aku melempar senyum ke arahnya.
“Gimana?” tanyanya lagi. “jangan ganjen liatin mbak-mbak warkop.”
“Eh, iya. Sorry, sorry.” aku menggaruk kepala.
Aku kemudian memberikan pernyataan yang pasti tepat sasaran.
“Aku tau, kau bukan ingin bertanya tentang perubahan sikapmu terhadap teman,” aku mengaduk kopiku, mencapurkan susu kental manis yang masih berada di lapisan paling bawah dengan kopi hitam pekat ini. “tapi tentang bagaimana kau bersikap terhadap doi, kan?” lanjutku.
Ia mengangguk pelan.
Aku benar, pikirku.
“Apa aku tidak romantis lagi?” tanyanya.
“Bagaimana aku bisa tau? Emangnya aku mantanmu?”
Ia memberikan tatapan seperti orang yang sudah kehilangan cinta. “Apa yang terjadi? Kau bisa cerita padaku.” Tanyaku.
“Aku tidak mengerti,” katanya. “kami berhubungan baik selama ini. Sampai pada suatu hari, dia lebih banyak mengobrol tentang bagaimana perjuangan kisah cinta para sahabatnya kepadaku.”
“Lanjut.” Kataku.
“Dan ia bercerita, mengenai sahabatnya yang pergi liburan berdua dengan sang pacar, bagaimana sahabatnya ditembak, kemudian-” ia berhenti. Ia menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan seseorang yang berada di belakangku.
“Siapa di belakang?”
“Itu dia, sahabat cewekku dan cowoknya.” Katanya gugup.
“Lalu, kenapa kau takut dengan mereka?”
“Aku bukan takut, tapi aku ingin tahu tentang mereka lebih banyak,” katanya. “kau jangan bergerak. Jadi aku bisa berlindung.”
Gogi melihat mereka cukup lama. Aku terus berkicau tentang tingkahnya yang cukup kekanak-kanakan.
“Kau tau apa yang aku lihat?” tanyanya ketika aku masih belum menyelesaikan kalimatku mengomentari tingkahnya itu.
“Mereka berhubungan seperti apa yang aku lakukan selama ini,” katanya. “kau tau, seperti orang biasa berpacaran.”
“Ya, aku tau, walaupun sudah lama aku tidak berhubungan dengan cewek. Setidaknya ada memori indah dikepalaku tentang bagaimana rasanya berpacaran.” Jawabku.
“Ya, seperti saling menyuapi, si cowok mencubit pipi si cewek, membelai-belai kepala si cewek, si cewek bersandar di bahu si cowok.”
“Ya, ya, ya.”
“Dan itu yang kami lakukan selama ini, dan kenapa dia berubah tingkahnya terhadapku?” tanyanya dengan mata yang tetap mencuri-curi pandang ke arah dua merpati itu.
“Baiklah, sebelum aku baper karena aku masih jomblo, lebih baik aku menyelesaikan ini,” aku mengambil posisi duduk lebih tegak daripada sebelumnya.
“Wanita itu, hidup dan bernapas dengan perasaan.” Kataku dengan nada yang cukup berat.
“Kau ingat, aku pernah mengatakan bahwa aku benci dengan film yang berbau-bau drama?” tanyaku kepadanya.
“Iya, kenapa dengan hal itu?”
“Karena aku tidak suka berekspektasi. Wanita menonton, dalam arti kata melihat hubungan seseorang, walaupun itu fiktif, tapi rasa iri akan muncul.” Aku berhenti sejenak, menyeruput kopi di gelasku.
“Para produser dan sutradara film pasti ingin memberikan yang terbaik dan menciptakan feel yang sesungguhnya. Aku tidak membenci mereka, tetapi aku hanya kurang suka dengan genre film seperti itu.”
Aku berdehem. “Dan kau baru saja melihat drama sungguhan dibelakangku, dan aku tidak ingin menoleh walaupun aku cukup penasaran dengan itu.”
“Dan tentu saja wanita iri, wanita saling membuat sesama mereka iri dengan melakukan banyak hal, sengaja ataupun tidak sengaja. Make-up, pacaran, nikah, anak, rumah, mobil, tas, perhiasan.” Kataku.
“Dan mereka terlalu banyak memakan rasa iri, sehingga mereka sendiri ingin merasakan feel  yang sama.” Katanya.
Aku mengangguk. “Kau berhasil menangkap apa yang aku maksud?”
“Tentu,” jawabnya. “tetapi aku susah untuk melakukan hal seperti itu.”
“Itu kembali kepada dirimu sendiri. Bisa atau tidak, itu tergantung padamu.” Kataku.
“Maksudmu bisa dalam hal?”
“Romantis.” Aku menjawab pertanyaannya dengan mantap.
“Romantis itu tidak perlu mahal, yang penting berkesan dan membuatnya senang.” Kataku.
“Kau seperti orang yang sudah berpengalaman dalam hal ini,” katanya. “kau sendiri masih single.”
“Pengalaman adalah guru terbaik. Aku terlalu banyak makan curhatan, dan mengambil kesimpulan seperti itu.” Kataku.
“Lebih baik kau tanyakan kepadanya, apa yang dia inginkan, apa yang kurang darimu, dan berikan apa yang dia mau dengan caramu sendiri.” Lanjutku.
“Caraku,” dia bergumam.
“Caramu dan keberanianmu untuk melakukannya,” kataku. “tidak perlu harus di depan umum. Yang penting kau bisa membuatnya bahagia dan berkesan. Karena pacaran, bukan mencari pendamping sementara, namun sebagai calon pendamping hidupmu. Tangkap dia sebelum dia kabur.”
“Yah, aku tau.” Jawabnya singkat. “Aku akan mencoba.”

It’s your love story, man. Sebagai pacar bukan hak kita untuk meminta diperlakukan khusus terus, tapi bagaimana kita memperlakukannya khusus. Karena dia yang akan memberikan jawaban ‘Yes, i do’ bukan kita, para kaum hawa.”

Minggu, 24 Juli 2016

Lingkaran Merah

Namaku Andre, mahasiswa semester 6 yang sedang berada di dalam ‘lingkaran merah’, lingkungan pacaran yang merasa lelah. Aku sedang break dengan wanita yang menemaniku selama 6 bulan terakhir. Mungkin ini yang mereka sebut dengan masa-masa jenuh.
Aku baru saja memberikan sebuah kesempatan untuk diri kami masing-masing untuk saling mengintrospeksi diri. Apa yang membuat kami merasa jenuh dengan hubungan ini?
Dari pertemuanku dengan gadis yang tidak aku kenal tadi, aku akhirnya menyadari bahwa banyak sekali orang diluar sana yang menyepelekan sebuah komitmen atas hubungan yang dibangunnya. Dan orang diluar sana yang kumaksud itu termasuk diriku ini.
Awalnya, kami saling menyukai. Dari rasa suka itu, kami merasa bahwa kami ingin memiliki sebuah ikatan yang lebih. Dan aku menembaknya. Tetapi, tidak ada kejelasan sebagaimana serius kami menjalani hubungan ini.
“Apa kamu benar-benar sayang denganku?” tanyanya ketika kami sedang makan malam di salah satu restoran di pusat kota, yang sangat mewah.
“Ya,” jawabku singkat. “bagaimana denganmu?” tanyaku. Menatap kedua matanya dengan tatapan tegas.
“Sama.” Jawabnya, senyuman merekah dibibirnya.
Kami menjalani hubungan dengan bahagia dibulan pertama, senang dibulan kedua, sedih dibulan ketiga, canggung dibulan keempat, hilang dibulan kelima, dan berhenti dibulan keenam.
“Apa ini jenis hubungan yang kita inginkan?” tanyanya melalui aplikasi chatting ketika aku baru saja selesai mandi sepulang kantor.
“Aku hanya mengikuti permainanmu,” aku membalas. “kau diam, aku diam.”
“Aku diam karena aku ingin diperhatikan!”
“Karena kau diam, aku tidak tau kau ingin diperhatikan.” Balasku santai.
Dia hanya read balasan chatku. “Mungkin dia marah,” pikirku.
Aku terlalu menyepelekan hubungan ini, dan malam itu, dia memutuskan bahwa kami sebaiknya berhenti untuk saling mencari dan menemukan sendiri apa kesalahan yang telah diperbuat oleh masing-masing dari kami, sengaja ataupun tidak sengaja.
“Kenapa kau selalu membuatnya nangis setiap malam?!” tanya adiknya malam itu melalui facebook.
“Tanya saja kepadanya. Aku hanya mengikuti keinginannya.” Balasku.
Aku tidak merasa egois dengan pilihanku ini karena ini adalah permintaan dari pihak cewek. Aku sebagai cowok harus mengalah, setidaknya aku mengalah dalam hal ini.
Besok paginya, aku bangun dengan sebuah pesan di kotak masuk.
Jangan hubungi aku lagi.
Aku tidak mengerti mengapa wanita ingin meminta untuk diperlakukan suatu hal yang sudah pasti akan menyakiti dirinya. Aku mengabaikan pesannya, dan menjalankan aktivitasku seperti biasa, namun kali ini terasa lebih sepi.
Beberapa hari kemudian, sepulang kantor, aku berhenti di sebuah taman yang berada di tepi kota. Aku memarkirkan sepeda motorku di pelataran parkir motor, dan kemudian berjalan menyusuri danau buatan yang selalu ramai dikunjungi orang sebagai tempat untuk berduaan.
Dan di tempat ini lah, aku menyadari bahwa aku terlalu menyepelekan sebuah hubungan.
Aku mengerlingkan mata, menyusuri setiap sudut taman. Aku melihat sepasang kekasih yang sedang asik berdua, aku melihat sebuah keluarga yang sedang berjalan santai dengan menggandeng anak mereka dengan riangnya, aku melihat pasangan yang sudah tidak muda lagi sedang asik berjalan dengan sang pria mendorong kursi roda yang diduduki oleh sang wanitanya.
“Mereka romantis sekali,” pikirku. “kenapa aku tidak bisa seperti mereka?”
Aku mengambil tempat duduk di tepi taman, mengamati dengan seksama setiap pasangan yang lewat. Aku ingin sekali seperti mereka, merasa bahagia dengan pasangannya. Aku cukup rindu dengan rasa itu. Mungkin aku terlalu egois dan tidak memposisikan diriku di posisinya.
“Bagaimana kabarmu?” tiba-tiba terdengar suara dari samping kiriku.
Aku menoleh, dan sedikit terkejut bahwa yang sedang duduk disampingku adalah seorang gadis yang sedang berhenti berkomunikasi denganku.
“Wah, ngapain kamu disini?” tanyaku.
“Aku sedang jalan-jalan,” katanya. Ia terdiam sesaat sebelum mengatakan kalimat yang membuatku terdiam kaku. “dengan pacar baruku.”
Seketika, aku merasa ada sebuah timah panas yang menembus jantungku. Perih.
“Ha-ha!” aku tertawa kaku. “Hebat ya, baru beberapa hari,” aku menggelengkan kepala.
 “Selamat menempuh kehidupan pacaranmu yang baru.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi dari tempat itu.
“Aku sudah lelah diperlakukan seperti itu,” katanya halus. Aku berhenti melangkah ketika dia mulai berbicara. “aku ingin diperhatikan.”
“Dan kamu sudah mendapat perhatian yang seharusnya, dan itu bukan dariku.”
“Aku ingin kamu paham-” katanya.
“Aku paham.” Aku memotong kalimatnya sebelum dia berbicara lebih panjang. “Aku pergi.”
Aku pergi, meninggalkannya duduk di tempat itu, ditemani oleh kekasih barunya.
Sepanjang perjalanan, aku merasakan sakit yang luar biasa. “Inikah sakit karena putus cinta?”
Aku benar-benar baru kali ini merasa sesak di dada, dan ini adalah rasa yang sesungguhnya, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Aku merasa bahwa, hubungan yang awalnya lancar, kemudian menjadi rusak gara-gara aku, dan ketika aku ingin memperbaiki hubungan tersebut. Aku terlambat.
Ada yang membahagiakannya.
Mulai dari sifat yang tidak dewasa itu, kini aku menyesal. Gadis yang aku sayangi, dan yang sempat aku telantarkan. Kini telah bahagia dengan orang lain.

Sekarang aku cukup takut untuk memulai hubungan yang baru. Aku takut, takut akan masuk kembali ke dalam ‘lingkaran merah’. Karena, aku belum terbiasa memposisikan diri sebagai orang lain.

Kamis, 21 Juli 2016

A Mask

Aku muak melihat mukamu!
Kau gak senang dengan denganku? Wajah kau menunjukkan gak suka dengan keputusanku.
Kau saja yang jadi ketua, mata empat!
Pakai masker! Tutupi wajahmu! Tutupi ekspresimu!

Dan aku selalu memakai masker kemanapun sejak saat itu.
Aku tidak tau, ekspresi apa yang kumunculkan ketika berhadapan dengan orang yang tidak sependapat denganku. Aku tidak membenci mereka, hanya saja, aku tidak bisa menutupi sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan tidak ketika aku ingin memberikan jawaban iya. Aku tidak bisa berbohong. Aku hanya seperti itu, jujur, terlalu ekspresif, dan jujur sedikit emosional.
“Apa kau sedang sakit?” tanya pak Agus kepadaku ketika aku baru saja melewati pintu kantor. Pak Agus adalah satpam kantor dan juga seseorang yang sangat aku hargai karena beliau melihat sesuatu dari sudut pandang yang luas. Kebijaksanaannya benar-benar aku kagumi.
“Tidak pak,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.
“Kamu bukan pakai masker karena ucapan Diana jumat lalu, kan?” tanyanya, tepat sasaran.
“Tidak pak,” jawabku. Aku mengambil cara paling singkat untuk mengakhiri percakapan ini, batuk. “Uhuk-uhuk.”
Pak Agus menatap wajahku cukup lama. “Kamu bohong. Gak perlu dimasukkin ke hati, dia tidak serius untuk mengatakan itu.” Katanya, berusaha membuatku tidak memikirkan hal tersebut lebih jauh.
“Oh, halo, selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?” pak Agus kemudian sibuk dengan melayani beberapa konsumen yang sudah datang ke kantor.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang dimana para karyawan sibuk menelpon dan menawarkan produk dengan bahasa marketingnya. Aku melangkah dengan tegap. Tentu tetap dengan masker yang terpasang, menutupi dari hidung sampai ke dagu.
Semua mata memandang ke arahku, kecuali seorang office girl yang berada di dalam ruang fotokopi, Siti.
“Hey, masker yang bagus, mata empat!” seru Nicky dengan lantang dari meja kerjanya yang berjarak 20 langkah dari tempatku berdiri saat ini.
“Abu-abu, huh?” timpal teman disebelahnya yang tidak ku kenal. Mereka tertawa bahagia.
Aku menatap mereka dengan sinis. Namun, mungkin Nicky, gadis dengan mata silinder itu tidak menyadari bahwa aku menatapnya demikian.
“Lebih baik kalian kerjakan kerjaanmu!” seru teman kerjaku, Billy.
Mereka diam. Nicky tertunduk malu menghadap komputernya dan tangannya mulai sibuk mengetik keyboard-nya. Billy termasuk salah satu karyawan yang berpengaruh di kantor. Pencapaian yang bagus dan wajah yang enak dilihat, menjadikannya sebagai pria idaman di kantor.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya ketika aku baru saja ingin duduk dengan indah di kursiku.
“Baik saja, kurasa.” Jawabku tak acuh.
“Ada apa dengan masker abu-abu itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah ‘pelindung ekspresi’ku.
“Hanya mengikuti tren anak muda, kau tidak tau?” tanyaku balik.
“Tidak, mungkin karena aku sudah dewasa.” Jawabnya dengan gaya sok dewasa.
“Mungkin aku tidak ingin menjadi tua,” kataku. “Tidak ingin.” Aku menegaskan ucapanku sekali lagi.
Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya berkata. “Kau seperti tidak memiliki emosi dengan memakai masker.”
Is that good?” tanyaku.
Dia mengusap-usap pelan dagunya dengan gaya berpikir kerasnya, memejamkan mata dan berkata. “Tidak.” Kemudian ia melanjutkan aktivitas kerjanya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Ada orang yang menyuruhku lebih baik menggunakan masker daripada aku harus menunjukkan setiap ekspresiku ketika aku sedang emosi.”
“Dan membuat mereka juga ikutan marah?” tanyanya memastikan dengan mata yang tetap berfokus pada komputer.
Aku mengedikan bahu. “Dari perintah mereka, sepertinya begitu.”
Ia berhenti mengetik, berbalik arah kepadaku.
“Kau memakai masker, untuk menutupi identitas aslimu sebagai pemegang nama Hendro, dan juga kau ingin menjauhkan diri dari masalah yang ditimbulkan oleh Hendro.” Katanya sambil menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya.
“Hey! Gak perlu seperti itu.” Seruku.
“Kau bukan Hendro! Setidaknya bukan Hendro yang sesungguhnya. Kau membunuh Hendro dengan masker itu.” Serunya, menghentikan pembicaraan dan pergi sambil membawa tas kerjanya.
Aku ditinggal begitu saja. Terdiam di dalam lamunanku. Aku berpikir keras. “Aku bukanlah aku ketika menggunakan masker.” Kalimat itu terus terngiang di dalam kepala kecilku.
Hendro yang asli lebih ekspresif, sedangkan yang sedang lebih cenderung seperti sosok patung yang diam karena wajah yang ditutup dengan masker, menghindari kontak langsung dan takut membuat ekspresi yang mengecewakan orang sekitar.
Aku kalah dengan takut atas kejujuran yang aku tunjukkan. Kejujuran itu pahit dan menyakitkan, namun lebih menenangkan dibanding berbohong yang malah nantinya akan memunculkan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan di awal.
Kebanyakan orang berusaha untuk menutupi ‘wajah’ mereka dengan masker hanya untuk menyenangkan atasan, contohnya. Dibalik masker itu, ada wajah lain yang berekspresi siap untuk menikam si atasan dari belakang.
Semua orang punya masker. Namun, keputusan tetap ada ditangan kita. Bagaimana kita bisa dengan bijak menggunakan ‘masker’ itu di waktu yang tepat dan tidak merugikan siapapun.
Dan aku mengaku kalah karena sudah mengikuti pilihan otak yang ingin melindungi diri, daripada hati yang ingin selalu jujur dengan tanpa adanya masker tersebut.
Aku mengambil handphone dari balik saku celanaku. Mengetik nama Billy di daftar nomor kontak, dan mengirimi pesan singkat kepadanya.

'Aku Hendro. Dan aku sedang marah. Baliklah ke kantor sebelum istirahat siang, dan kau akan melihat ekspresiku yang menyeramkan.'
Aku membuang masker itu di tempat sampah dan kembali menjadi Hendro yang sebelumnya.

Selasa, 19 Juli 2016

Turn Back, Love

Ini adalah kali kelima aku gagal.
Aku mondar-mandir di dalam ruangan VVIP di salah satu cafe milik sahabatku. Aku berhenti, menatap setumpuk kertas yang berada di atas meja bundar di tengah ruangan, kemudian melanjutkan kembali kegiatanku memutari meja tersebut sambil menggigiti kuku jari tanganku.
“Kau terlihat penuh semangat,” kata Anton, sahabatku yang juga pemilik cafe. “kau punya kesempatan untuk duduk dan memikirkan hal ini bersama.”
Aku berhenti, menatapnya dengan sinis.
“Ayolah, aku tidak mengejekmu, aku mengenalmu sejak SD.” katanya sambil menyeruput kopi racikkannya sendiri.
“Capucino,” katanya sambil mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi dengan memamerkan deretan giginya yang sudah menguning akibat keseringan minum kopi dan tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi dengan teratur. “ini hanya buat kita merasa rileks.”
“Rileks? Apa itu yang kau rasakan?” tanyaku. “Aku malah merasakan sebaliknya, jantungku selalu berdebar kencang.”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah luar ruangan private ini, aku mengayunkan tangan memanggil salah satu waiter yang sudah kenal baik denganku. Aku memberikan kode dengan mengangkat jari telunjukku, dan dia pun mengerti.
“Teh tarik?” tanya Anton.
“Iya, seperti naskahku, yang aku tarik ulur dari beberapa penerbit.” Aku mendesah kecewa. “Berturut-turut selama lima kali,” tegasku.
“Kau tau, berapa lama Thomas Alfa Edison berhasil menciptakan lampu?”
“9.955 kali,” jawabku singkat. “dan kau juga bertanya kepadaku pertanyaan yang sama berulang kali sebanyak itu.”
“Dan kau baru saja gagal sebanyak lima kali, kau masih punya 9.950 kali kesempatan.”
“Aku tidak berkembang, selalu gagal dengan hasil yang sama.” Ucapku lemah sambil mengambil posisi duduk di sebrangnya.
“Nah, begini dong, duduk dulu baru kita bicara.”
Waiter yang kupanggil tadi sekarang sudah berada di luar pintu, mendorong pintu masuk dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat pesananku.
“Teh tarik pesanan mas Andhika sudah datang,” katanya dengan logat khas Jawa sambil meletakkan gelas itu tepat di hadapanku.
“Terima kasih, mas Dono.”
“Sama-sama, mas.” Balasnya kemudian pergi keluar dari ruangan.
“Jadi?” tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku sekarang anak muda?”
“Kita seumuran, dan kau hanya berbeda bulan denganku.” Kataku.
Aku meminum teh yang ada di hadapanku ini, kemudian mengubah posisi duduk menghadap ke jendela.
Aku melihat sosok anak kecil, yang aku percayai baru saja belajar berjalan, dipandu oleh sang ibu dibelakangnya. Ia terjatuh, namun sebelum sang anak menangis, si ibu sudah lebih dulu memberikan semangat dan sang anak kemudian berdiri dan mencoba berjalan dengan kedua lengan terbuka lebar seperti seekor burung yang sedang menyeimbangkan posisi terbangnya di udara.
Dan ia berhasil, sang anak berhasil berjalan melangkah kira-kira sepuluh langkah dari sang ibu menuju ke tempat sang ayah. Mereka terlihat bahagia dengan pencapaian sang anak.
“Kau lihat anak itu?” kataku. “dia berhasil.”
“Apa yang dia lakukan? Dia hanya berjalan.”
“iya, dia berjalan, dia telah meningkatkan kemampuannya.” Kataku.
Aku kemudian kembali meneguk beberapa mililiter teh tarik, berdiri, dan mengambil setumpuk kertas itu.
“Aku akan membakarnnya, dan memulai semua dari awal.”
Anton menatapku dengan senyuman menantang. “Apa yang akan kau lakukan setelah itu?”
Well, aku melihat anak kecil berhasil mencoba untuk berkembang. Ia mulai merangkak dan akhirnya bisa berjalan dengan baik walaupun masih terpatah-patah.” Kataku.
Aku tersenyum. “Aku melihat diriku sendiri ketika aku masih berusia belia sama seperti dia.”
“Kau merangkak?”
“Tentu saja, dasar bodoh.”
“Baiklah, baiklah, Andhika yang pernah merangkak. Kenapa kau ingin membakar itu? Kau ingin merangkak kembali dari awal?”
“Aku rasa,” aku terdiam sejenak. Memandang kembali ke arah anak kecil itu. “Aku melupakan bagian terpenting.” lanjutku.
“Apa itu?”
“Aku membutuhkan sesuatu yang dapat menopangku sebelum aku jatuh, dan dapat memberiku pencerahan ketika aku menutup mata.”
“Dan?”
“Aku membutuhkan cinta. Aku mencintai dunia menulis, aku sangat mencintai kegiatan ini.”
“Ya, aku ingat ketika SMP kau bersikeras untuk menjadi bagian dari acara pentas seni sehingga kau dapat menjadi penulis naskah drama kita.”
“Iya, itu salah satu caraku menunjukkan seberapa besar cintaku pada dunia ini dan sekarang aku telah kehilangan cinta. Tepat ketika aku kehilangan kepercayaan diri atas kegagalan yang kulalui.”
“Gagal adalah permulaan yang baru.” Anton berdiri, mengambil tumpukan tulisanku, dan membacanya.
“Sebenarnya, kau telah berkembang.” Katanya. “Kau ingat, dulu kau bahkan tidak dapat membuat seseorang menangis. Kemudian ketika kuliah, kau dapat membuat seseorang menangis dari bacaanmu.”
“Iya, aku berkembang, namun masih membutuhkan kedua lengan untuk menyeimbangkan posisiku, posisi sebagai penulis.” Kataku. “Tangan kanan, keluargaku. Tangan kiri, orang terdekatku.”
Aku menghabiskan sisa teh tarik yang masih menunggu giliran untuk masuk ke dalam ususku.
“Apa kau ingin membantuku membakarnya, tangan kiriku?” tanyaku kepada Anton sambil mengambil sebagian dari tumpukkan kertas yang sedang dibaca olehnya.
“Jadi, aku orang terdekatmu, begitu?” tanyanya. “kau membuatku malu.”
“Itu hadiah karena telah mengijinkanku menggunakan cafemu sebagai tempat sandaran ketika aku lelah akan kenyataan.”
“Kau sahabatku yang paling berlebihan. Dan jangan lupa, kau harus mengembalikan cintamu.”
“Baiklah.”

Kami membakarnya dibelakang cafe sambil tertawa. Menyadari bahwa kehidupan ini akan sangat hampa jika tak ada hadirnya cinta disekitar kita. Cinta bukan hanya dari pasangan, tapi bagaimana kita bisa menikmati hidup dengan cinta kita kepada semua hal. 

Rabu, 06 Juli 2016

Blind

“Love is blind, you can’t just tell someone you love them. You have to show it.”
Cinta itu buta. That’s right. Kau, siapapun kau, apapun statusmu, laki-laki atau perempuan. Kalau kau benar-benar mencintai orang tersebut, harus kau tunjukkan kepadanya.
Menunjukkan cintamu kepada seseorang bukanlah harus dengan sesuatu yang tampak. Jaga dia, lindungi dia kemanapun dia pergi, lakukan apapun yang membuatnya senang walau itu dengan menelpon dia tengah malam hanya untuk mengucapkan selamat malam. Ataupun temani dia minum teh atau kopi di teras rumah sambil mengobrol tentang masa depan. Aku mengatakan begitu, karena aku buta.
Aku benci dikasihani. Semoga kalian bisa membayangkan rasanya. Aku pikir, tanpa salah satu indra kita, tidak ada yang dapat mengganggu imajinasi, bukan?
Namaku Indro, yang pasti bukan seorang entertainer, dan aku tidak botak, setidaknya itu gambaranku mengenai sosok Indro DKI yang masih aku ingat sampai sekarang. Di media, aku hanya bisa mendengar suaranya. Gambarannya? Dia masih tidak berubah selama bertahun-tahun dibenakku.
Oke, buta, aku kehilangan penglihatanku sejak aku berada dalam kategori dibawah umur. Di umur enam belas tahun. Aku mengemudi, belum memiliki SIM, hanya modal nekat.  Keluargaku yang miskin, sekarang menjadi semakin miskin berkat usahaku mencari uang. Balap.
Aku tumbuh menjadi anak yang punya sifat berandal. Kemiskinan yang aku rasakan sejak kecil, membuatku ingin selalu memberontak. “Kenapa aku tidak punya ini?!” Berontak, lari, judi, mencuri, sampai akhirnya aku dapat membeli sebuah motor dengan uang haram. Walaupun keluargaku memberikan cinta yang sepenuhnya, aku mengakui bahwa itu semua tidak cukup.
Orang tuaku mencintaiku. “Karena mereka tidak punya uang, tidak ada barang berharga yang bisa mereka sayang-sayangi,” itu alasan yang selalu aku pikirkan.
Adik-adikku sangat bangga denganku. “Karena kami tidak punya televisi untuk ditonton, tidak ada juga tokoh superhero yang dapat mereka kagumi,” itu yang kupikirkan.
Dan aku pergi meninggalkan rumah, sekolah. Aku mencari tempat berjudi yang paling ramai. Aku bertaruh semua pada nasib, aku akan berdiri di puncak dengan uang. Itu yang anak labil pikirkan. Apa kau berani bertaruh bahwa aku mendapatkan banyak duit dengan ini. Pasanglah sebanyak-banyaknya, karena jawabannya adalah iya! Aku mendapatkan banyak duit dengan berjudi. Aku memodifikasi motorku hingga layak disebut sebagai setan di arena balap. Aku ingin tampil mendominasi di arena. Aku ingin mendominasi semua hal.
Aku ingin mendominasi Lala. Anak gadis dari bos club motor di kota ini. Aku telah mendekati ayahnya sekian lama. Dengan duitku yang banyak, aku bertaruh demi mendapatkan Lala dengan menunjukkan kendaraan kesayanganku. Aku berjanji akan menang di setiap perlombaan demi dia. Big Bos, begitu julukannya, mengakui keberanianku. Dan memberikan kesempatan kepadaku untuk mendapatkan hatinya dan hati anaknya.
“Aku berani bertaruh, tidak ada yang bisa mengalahkanku. Nasibku selalu baik.” Dengan percaya diri aku berkata demikian. Di depan semua geng club, dihadapan senior-seniorku, aku merendahkan mereka.
Banyak lomba yang aku ikuti sejak saat itu. Dengan membawa nama besar Big Bos di pundakku, aku tidak pernah mempermalukannya. Lala mulai meresponku. Dan puncaknya, pada saat aku mengajaknya makan malam di restoran.
“Bagaimana? Kau suka?” tanyaku ketika kami sedang menyantap makan malam diiringi lagu instrumental mozzart yang sengaja dimainkan atas permintaanku. Aku ingin membuat suasana menjadi seromantis mungkin.
“Suka,” jawabnya. “Aku belum pernah diajak keluar oleh siapapun. Kau yang pertama.” Ujarnya.
“Aku spesial?” tanyaku lagi.
“Mungkin,” jawabnya singkat, melanjutkan gigitannya. “kau berani. Itu saja.” Lanjutnya.
 “Tidak ada yang pernah dengan percaya diri mengatakan hal seperti itu kepada ayah. Apalagi meminta ijin untuk mengajakku keluar makan malam.” Katanya.
“Ho,” aku merespon singkat. “mungkin karena aku juga ganteng.” Kataku. Dia hanya tersenyum, tersenyum malu.
“Aku ingin mengatakan satu hal. Boleh?” tanyaku. Dia mengangguk pelan.“Aku minta ijin untuk mengatakan perasaanku malam ini. Apa boleh?”
Dia tertawa. “Aku tidak pernah membaca kisah di novel romantis, seorang cowok meminta ijin kepada perempuan yang ingin ditembaknya. Kau lucu sekali.”
 “Aku mencintaimu sejak pandangan pertama, sejak aku datang ke club dan melihatmu berdiri bersama dengan Big Bos,” kataku. Aku menatap dalam matanya. Ia memandangku, berharap aku melanjutkan kalimatku. “Maukah kamu menjadi pacarku? Menemaniku setiap aku membawa nama besar ayahmu di track?”
Tatapannya biasa saja, tapi aku sudah dapat menebak jawabannya. “Apa aku harus menjadi umbrella girl?”
“Tidak, tidak perlu. Kamu hanya perlu untuk duduk di barisan tepi, bersama dengan ayahmu, menonton setiap lombaku.”
“Kalau begitu, baiklah. Aku akan selalu menemanimu, dengan catatan, kau tidak akan memaksaku menjadi umbrella girl.” Aku menggeleng sambil tertawa pelan.
Begitu manisnya kenangan itu. Aku mengingat setiap gambarannya, lebih tepatnya, aku melihat jelas sekarang, di dalam kegelapan, suasana restoran, pemain musik, para penikmat makanan yang dating ketika lapar dan pergi ketika sudah kenyang.
Lala hadir disetiap perlombaanku, duduk dengan topi bundar besar yang melindunginya dari sinar matahari.
Ia hadir lagi hari ini, berharap cemas dengan hasil perlombaan, karena aku berada di posisi kedua sekarang. Tertinggal beberapa meter dibelakang Renald, rivalku.
3 putaran lagi dan aku akan kalah jika tidak mendahuluinya. Dan tiga putaran itulah yang tidak akan pernah aku selesaikan. Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menabrakku dan aku menabrak Renald. Kami berdua terpental cukup jauh. Kepalaku terdorong cukup kuat, terkena stang motor, dan pandanganku menjadi hitam semua. Aku tidak ingat lagi apapun setelah kejadian itu.
Aku sadar ketika aku sudah terbaring di rumah sakit. Kaki kiri dan tangan kananku patah. Pandanganku, gelap.
“Lala, Lala, Lala,” aku menyebut namanya terus dan terus. Suster mengatakan bahwa tidak ada siapapun yang bernama Lala di kamarku. Hanya ada seorang bapak dan ibu yang sudah berumur dengan pakaian lusuh duduk disampingku.
“Nak,” suaranya terdengar tidak asing bagiku. “Apa kamu mengenal suara ibu nak?”
“I-ibu? “ tanyaku gemetar. “Lala, dimana Lala?”
“Mereka meninggalkanmu. Kamu sudah dikeluarkan dari club.” Terdengar suara ayah disebelah kiriku.
“Kenapa gelap sekali? Apa mati lampu disini? Apa ini rumah sakit?” tanyaku. Tidak ada jawaban dari mereka berdua.
“Suster! Suster!” aku berteriak memanggil suster, kemudian datang seorang suster menenangkanku. “Kenapa gelap sekali suster?”
“Maaf, tabrakan yang terjadi kemarin sangat kuat. Matamu menjadi tidak dapat berfungsi lagi.” Aku sontak terkejut dengan kalimat itu. Aku tidak dapat melihat lagi, aku tidak tahan dengan kegelapan ini. Aku takut gelap. “Ibu! Aku takut gelap, bu.”
“Tidak apa-apa, nak.” Kata ibu berusaha menenangkan, mengelus-elus kepalaku dengan kasih sayang.
“Bagaimana tidak apa-apa?! Aku tidak bisa melihat! Dasar perempuan tua miskin!” aku membentak, kesal. “Suster, dimana Lala?”
“Dia pergi, meninggalkan surat. Saya bacakan ya.”
Kau sudah buta, tidak berguna lagi, kau tidak akan bisa balap dan membawa nama besar ayahku. Kau tidak mungkin bisa mengajakku dinner lagi seperti kemarin. Aku tidak ingin terlihat seperti seorang babysitter. Aku pergi.
Air mata turun melewati pipiku. Aku menangis karena kondisiku yang sekarang. aku menangis karena hanya kegelapanlah temanku sekarang. “Nak, bayangin wajah ibu yang dulu. kamu tidak akan kesepian. Ibu selalu bersamamu.”

Kini, yang lama kembali. Dan seseorang yang kupercaya pergi. Begitukah nasibku? Nasib baikkah? Nasib buruk? Yang pasti, ini  adalah nasib baikku. Karena mereka masih mau menerimaku apa adanya.